Minggu, 17 Maret 2019

Apa itu Metode Montessori ?

Jaman sekarang banyak sekali berbagai jenis dan tipe sekolah untuk anak-anak, salah satunya yang lagi ngetrend adalah metode Montessori yang tentu saja sangat berbeda dengan metode sekolah klasikal pada umumnya.
Di bawah ini akan dibahas tuntas mengenai salah satu metode yang lagi ngetrend tersebut, yaitu metode Montessori.

Metode Montessori adalah suatu metode pendidikan untuk anak-anak, berdasar pada teori perkembangan anak dari Dr. Maria Montessori, seorang pendidik dari Italia di akhir abad 19 dan awal abad 20. Metode ini diterapkan terutama di pra-sekolah dan sekolah dasar, walaupun ada juga penerapannya sampai jenjang pendidikan menengah.
Ciri dari metode ini adalah penekanan pada aktivitas pengarahan diri pada anak dan pengamatan klinis dari guru (sering disebut "direktur" atau "pembimbing"). Metode ini menekankan pentingnya penyesuaian dari lingkungan belajar anak dengan tingkat perkembangannya, dan peran aktivitas fisik dalam menyerap konsep akademis dan keterampilan praktik. Ciri lainnya adalah adanya penggunaan peralatan otodidak (koreksi diri) untuk memperkenalkan berbagai konsep.
Walaupun banyak sekolah-sekolah yang menggunakan nama "Montessori," kata itu sendiri bukan merupakan merk dagang, juga tidak dihubungkan dengan organisasi tertentu saja.

Sejarah
Dr. Maria Montessori mengembangkan "Metode Montessori" sebagai hasil dari penelitiannya terhadap perkembangan intelektual anak, yang pada awalnya diterapkan kepada anak yang mengalami keterbelakangan mental tapi diketahui juga efektif untuk anak-anak normal[1]. Dengan berdasar hasil kerja dokter Prancis, Jean Marc Gaspard Itard dan Edouard Seguin, ia berupaya membangun suatu lingkungan untuk penelitian ilmiah terhadap anak yang memiliki berbagai ketidakmampuan fisik dan mental. Mengikuti keberhasilan dalam perlakuan terhadap anak-anak ini, ia mulai meneliti penerapan dari teknik ini pada pendidikan anak dengan kecerdasan rata-rata.
Pada tahun 1906, Montessori telah cukup dikenal sehingga ia diminta untuk suatu pusat pengasuhan di distrik San Lorenzo di Roma. Ia menggunakannya sebagai kesempatan untuk mengamati interaksi anak dengan materi yang ia kembangkan, menyempurnakannya, dan mengembangkan materi baru yang bisa dipakai anak-anak. Dalam pendekatan yang berpusat pada materi ini, tugas utama guru adalah mengamati saat anak memilih materi yang dibuat untuk memahami konsep atau keterampilan tertentu. Pendekatan demikian menjadi ciri utama dari pendidikan Montessori.
Awalnya perhatian Montessori lebih pada anak usia pra-sekolah. Setelah mengamati perkembangan pada anak yang baru masuk SD, ia dan Mario (anaknya) memulai penelitian baru untuk menyesuaikan pendekatannya terhadap anak usia SD.
Menjelang ahir hayatnya, dalam buku From Childhood To Adolescence (Dari Masa Kanak-kanak ke Masa Remaja), Montessori membuat sketsa tentang pandangannya mengenai penerapan metodologinya bagi pendidikan jenjang menengah dan tinggi.

Prinsip dasar metode Montessori adalah:

  • Pendekatan perorangan dalam belajar
  • Kombinasi pendidikan akademik dan sosial
  • Memupuk rasa keingintahuan anak, dan mereka didorong untuk berani melakukan eksplorasi.
  • Konsep abstrak dipresentasikan secara nyata
  • Ketrampilan dan rutinitas yang diajarkan di sekolah akan diterapkan anak dalam kehidupannya sehari-hari hingga dewasa
Metode Montessori mengajarkan 5 bidang utama, yaitu:
  1. Kemampuan berbahasa
  2. Konsep matematika
  3. Budaya
  4. Sensorik
  5. Kehidupan sehari-hari
Untuk pendidikan usia dini, penerapan metode Montessori di sekolah-sekolah pada umumnya adalah sebagai berikut:

1, Kemampuan berbahasa

Anak-anak dilatih untuk berkomunikasi di hadapan orang banyak. Salah satu contohnya adalah meminta anak-anak bercerita atau mempresentasikan tema tertentu setiap minggu di kelas.
Selain itu, anak-anak dapat diperkenalkan dengan huruf melalui permainan. Mereka tidak akan merasa sedang belajar, tetapi mereka akan mengingat semuanya karena bermain.
Kemampuan setiap anak berbeda, sehingga guru tidak memaksa setiap anak melakukan hal yang sama di saat yang sama.

2. Matematika

Jangan kaget dulu, matematika untuk PAUD bukanlah belajar perkalian atau rumus-rumus. Matematika mencakup belajar mengenal aneka bentuk, memahami mana ukuran yang lebih besar/kecil, mengenal angka, dan sebagainya.
Tanpa disadari, anak-anak belajar angka dan berhitung melalui permainan dan lagu. Mereka mengenal konsep bentuk melalui permainan puzzle atau blok.
Dan mereka akhirnya dapat mengurutkan balok mulai dari yang terbesar hingga terkecil karena bermain membuat menara.

3. Budaya

Anak-anak diajarkan untuk mengantri, sikap sopan santun, tata krama, dan kebaikan.
Mereka diajarkan cara mencuci tangan yang baik dan dilakukan rutin sebelum makan.
Program bermain di halaman sekolah pun dapat dimanfaatkan untuk mengajar anak untuk bersikap sportif saat kalah dalam perlombaan dan juga membuat anak bergerak.
Saat ada dua anak bertengkar, guru mengajarkan anak untuk meminta maaf dan memaafkan.
Mungkin kita masih ingat berita viral tentang guru Australia yang mengatakan bahwa lebih baik murid-muridnya bisa mengantri daripada pandai berhitung tetapi tidak bisa mengantri?
Mungkin di sinilah kelemahan sistem pendidikan di Indonesia, di mana aspek akademis lebih ditekankan daripada aspek budaya, tata krama, dan moralitas, padahal kesuksesan seseorang lebih ditentukan dari EQ, bukan IQ.

4. Sensorik

Bila Anda sering kesal karena si Kecil gemar mengacak-ngacak seisi rumah, maklumilah karena mereka sedang mengembangkan kemampuan indra sensoriknya.
Di sekolah bermetode Montessori, anak-anak diperkenalkan dengan mainan yang melatih indra sensorik, misalnya botol sensorik, bermain pasir, kacang-kacangan, dan sebagainya.
Kebetulan, mereka memang gemar dengan permainan-permainan seperti itu. Saat bermain dengan kacang hijau, mereka bisa diminta untuk memasukkan butir demi butir ke botol, sehingga melatih gerak motorik halus mereka.
Musik dan tari pun diajarkan agar anak tidak hanya diam melulu, tetapi aktif bergerak.

5. Kehidupan sehari-hari

Anak-anak diajarkan berbagai ketrampilan yang membuatnya menjadi balita mandiri, misalnya  cara menggunakan kaos kaki, sepatu, baju, dan celana sendiri.
Mereka juga diajarkan cara memegang piring dan gelas, serta makan sendiri selayaknya orang dewasa.
Semua kegemaran balita dapat dijadikan proses belajar. Misalnya balita gemar sekali bermain air dengan cara menuang air dari wadah satu ke wadah lainnya.
Metode Montessori mengajarkan mereka menyiram tanaman sambil menumbuhkan rasa cinta kepada alam dan lingkungan. Anak-anakpun gembira karena bisa menyiramkan air dari gelas ukur ke pot tanaman.

Keunggulan

Metode Montessori yang merupakan metode belajar yang bergantung pada masing-masing anak yang dididik, memiliki keunggulan dalam menumbuhkan kekritisan berfikir, berkolaborasi dalam tim, dan bertindak lebih tegas[1]. Setiap anak memiliki kebebasan dalam memilih aktivitas, yang tentu saja telah diatur sedemikian rupa oleh para pendidiknya untuk menumbuhkan kemandirian, kebebasan dan keteraturan. Guru, anak dan lingkungan yang diatur menciptakan segitiga pembelajaran yang baik. Anak dengan bebas memanfaatkan lingkungan yang ada untuk mengembangkan pribadinya, dan berinteraksi dengan guru ketika membutuhkan bantuan dan atau arahan yang diperlukan.
Setiap tingkatan usia mempelajari hal yang berbeda, ujung tombak pembelajaran dalam metode montessori adalah penggabungan kelompok anak-anak dengan usia yang berbeda-beda. Anak yang lebih muda dapat belajar dari anak yang lebih tua, sekaligus memberikan kesempatan kepada anak yang lebih tua untuk lebih memperkuat kemampuan yang telah mereka kuasai sebelumnya dengan konsep mengajarkan. Nantinya tiap individu pasti merasakannya saat bekerja dan bersosialisasi dengan banyak orang yang berbeda usia di kehidupan nyata.
Montessori juga memperhatikan adanya saat-saat yang sensitif, ketika anak-anak memiliki kesempatan lebih baik dalam mempelajari sesuatu dibanding masa-masa lainnya.
Misalkan di awal masa anak-anak, mereka mempelajari segala sesuatunya melalui aktivitas gerak dan penginderaan, dengan berbagai material yang mengembangkan kekuatan kognitif melalui pengalaman langsung.
Beranjak besar, di tingkatan dasar, anak-anak mulai mengatur pikirannya dari hal-hal yang nyata ke arah yang abstrak. Mereka mulai mengaplikasikan pengetahuannya ke pengalaman nyata.
Pada setiap tingkatan usia, anak disiapkan untuk menghadapi dunia orang dewasa ketika pikiran dan emosi berkembang untuk lebih memahami konsep-konsep yang lebih abstrak seperti keadilan, kebebasan dan kesetaraan.

Kekurangan

Ada beberapa kritikan terhadap metode montessori ini. Salah satunya berasal dari orang tua anak yang dikeluarkan oleh sekolah yang menerapkan metode montessori ini karena anak balitanya adalah anak yang aktif dan memerlukan perhatian lebih tinggi[2].
Dikatakan olehnya bahwa metode montessori tidak mempertimbangkan bahwa sedikitnya material pembelajaran tidak hanya mengarah kepada sifat berbagi tetapi dapat mengarah kepada agresi dan insting untuk mempertahankan hak milik, terutama pada anak usia dini. Pengelompokan anak dengan berbagai usia juga dapat menimbulkan sikap agresif dari anak yang berusia lebih tua dan keinginan untuk mengalahkan anak yang lebih kecil dalam penggunaan material belajar yang terbatas jumlahnya. Hal ini menumbuhkan sifat intimidasi dan merasa lebih benar di diri anak-anak.
Komunikasi dengan orang tua juga adalah hal yang perlu diperhatikan dalam metode ini. Kadangkala, orang tua tidak tahu menahu perkembangan atau aktivitas yang lebih baik dihindari oleh anak agar tidak mengarah kepada perilaku yang tidak diinginkan. Perkembangan anak di rumah yang diinginkan orang tua juga tidak dapat diakomodir dalam aktivitas di sekolah montessori. Misalkan saja orang tua melihat ada perilaku-perilaku anak yang mengkhawatirkan di rumah, tetapi aspirasi orang tua ini seringkali tidak diperhatikan oleh pengajar. Orang tua juga tidak mengetahui keunggulan yang anak lakukan dalam suatu pekerjaan dibandingkan aktivitas lainnya. Terkadang penggunaan jargon dan metode koreksi kesalahan yang dilakukan di sekolah montessori ini memberikan dampak yang negatif kepada perkembangan anak. Kemungkinan hal ini disebabkan karena terlalu sering dikoreksi tanpa adanya penghargaan atas usaha yang dilakukan anak untuk melakukan koreksi sendiri.
Kekurangan-kekurangan yang diutarakan lebih banyak mengarah kepada kemampuan pengajar dan sistem yang perlu dikembangkan oleh sekolah penganut metode Montessori untuk kembali ke prinsip dasar metode tersebut. Kembali lagi, prinsip yang dianut adalah prinsip belajar yang fokus kepada masing-masing anak. Perkembangan dan penyimpangan sedikit apapun dari tiap anak harus dapat dilihat dan dilakukan tindakan terhadapnya agar anak dapat tumbuh dengan perilaku yang terbaik.
Sebelum memilih sekolah yang terbaik bagi masing-masing anak, tentu saja kita harus meneliti dan mencari yang kira-kira cocok bagi masing-masing anak tersebut,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Keceriaan anak-anak Bilik Dolan di Taman Kota

Halo semua.... Berjumpa kembali dengan blog Bilik Dolan... Setelah sempat ditutup beberapa lama untuk direnovasi, kembali Taman Kota 1 di...